Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Rawan Konflik, Eksekusi Tanah Di Widarapayung Kulon Kembali Ditunda, Kedua Belah Pihak Pilih Mediasi

Rabu 11 2023 | 11 Oktober WIB Last Updated 2023-10-11T05:42:25Z


Pewarta :  Agus W


Cilacap, suarajawatengah.com - Persoalan sengketa tanah yang terjadi di Jalan Ciputat, RT 14 RW 05, Dusun Ciwulu, Desa Widarapayung Kulon, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah kembali ditunda.


Dengan penundaan eksekusi tersebut, kedua belah pihak sepakat menempuh jalan mediasi untuk menyelesaikan persoalan sengketa tanah.


Diketahui, sengketa antara 5 KK yang menempati di tanah seluas 176 ubin (2.000 meter persegi) di Jalan Ciputat dengan penggugat Djoko Windarto warga Desa Welahan Wetan, Kecamatan Adipala sejak tahun 2005. Kedua belah pihak mengklaim memiliki sertifikat yang sah.


Saat ditemui usai penundaan eksekusi, Kuasa Hukum tergugat,  Sugeng Anjeli mengatakan, alasan yang mendasari eksekusi ditunda karena objek eksekusi tidak jelas dimana.


"Dari pihak kepolisian dan pengadilan menghendaki adanya perdamaian. Diselesaikan secara keluargaan. Damai," katanya.


Mengenai batas waktu mediasi, Sugeng menegaskan, tidak ada batas waktu untuk mediasinya. Kami sedang mengajukan  perlawanan eksekusi di Pengadilan Negeri Cilacap dengan mendasari atau register pekara No 39 pdtp 2023.


"Tidak ada batas waktu. Artinya kami dan pengadilan pun tidak menentukan sampai kapan. Hanya menghendaki diselesaikan secara perdamaian atau mediasi selesai," katanya.


Mengenai putusan eksekusi, Sugeng sangat menyayangkan putusan 2005 no 34 tahun 2005. Ia juga heran kenapa majelis hakim dalam memutus perkaranya dahulu.


"Walaupun tidak ada esepsi, karena esepsi itu menyangkut keahlian orang hukum. Pada orang awan tidak menguasakan kepada advokat tidak tahu apa yang disebut esepsi," ucapnya. 


Padahal, menurut Sugeng, dalam gugatannya dalam gugatan Djoko dalam perkara No 34 PDTG 2005 PN Cilacap itu tidak menjelaskan letak obyek sengketannya. 


"Eksekusi tidak jelas objeknya, itu di desa mana, kecamatan mana kabupaten mana, hanya mencantumkan SHM no 204 dan 216 tidak disebutkan desanya," tuturnya.


Sugeng menyakini, masing masing desa ada no SHM yang sama, karena SHM di tingkat desa no sekian di desa lain sama. "Tapi desanya jelas berbeda," tegasnya.


Menyikapi ditundanya eksekusi oleh juru sita dan panitera pengadilan, Sugeng menjelaskan situasi eksekusi tadi terlihat jelas penolakan dari warga setempat.


"Pihak kepolisian melihat potensi kerawanan atau dianggap tidak aman. Kalau polisi mengarisbawahi tidak aman pengadilan pun tidak berani melangkah," ungkapnya.


Menurut Sugeng, dilihat catatan yang menolak eksekusi. Bahkan itu warga desa setempat menolak eksekusi, konteknya bahwa warga Desa Widarapayung Kulon itu sebagai pemilik yang sah. 


"Benar benar pemilik dari penjualan yang benar. Desa mengetahui bahkan terbitnya sertifikat, sehingga kalau dipaksakan dieksekusi situasi tidak aman," katanya. 


Sugeng menilai yang menyebabkan kisruh dan dapat menimbulkan gesekan karena dalam putusan eksekusi tidak ada kejelasan objeknya.


"Padahal putusan harus jelas. Obyeknya dimana, terletak dimana. Dalam arti kan ya desa, kecamatan, kabupaten. Setidaknya jelas desanya, meskipun kecamatan dan kabupaten tidak tercatat," ucapnya. 


Disinggung soal ada pembahasan nominal, Sugeng menjelaskan untuk terjadinya perdamaian, adanya penyelesaian secara keluargaan.


Dia mencontohkan,  misal pihak Djoko mengatakan tidak usah dieksekusi. Namun minta kompensasi karena pihaknya juga membeli.


"Ktapun juga sebagai pembeli, karena sama sama orang yang rugi, sehingga menurut saya tidak mematok harga harus segini. Klien kami juga sebagai pembeli. Ayo dirembug atau dimediasi dengan harga yang wajar dan layak" pungkasnya. (*)

×
Berita Terbaru Update